Senin, 22 Desember 2008

Post-Bureaucratic Paradigm : Suatu Rekonstruksi Birokrasi Masa Depan

Kemajuan suatu Negara sangat bergantung pada kemajuan birokrasi pemerintahan dan aparaturnya yang mampu mengelola tata pemerintahan secara efisien. Kini, di tengah pergeseran masyarakat industri menuju masyarakat informasi, bukan saja struktur dan proses bisnis yang didesain ulang, tapi kultur birokrasi pun disesuaikan pengelolaannya. Birokrasi itu dikelola sebaik organisasi bisnis (bussiness style).

Saat ini kemajuan suatu bangsa dipicu oleh pergeseran-pergeseran. Menurut Naisbitt dan Aburdene (2002), kemajuan ditandai dengan :

1. Pergeseran dari teknologi yang menggunakan banyak tenaga manusia menjadi teknologi tinggi dan teknologi tekan tombol (high tech and high touch) .

2. Pergeseran dari ekonomi nasional menjadi ekonomi global.

3. Pergeseran dari perencanaan jangka pendek ke jangka panjang.

4. Pergeseran dari organisasi yang bersifat sentralisasi ke organisasi yang bersifat desentralisasi.

Kondisi tersebut telah memaksa birokrasi pemerintahan memiliki tingkat kinerja sebagus organisasi bisnis yang indikatornya adalah 3E (Economy, Efficiency, dan Effectiveness ). Untuk maksud itulah, banyak organisasi birokrasi berlomba-lomba mengurangi fungsi-fungsi pemerintahannya, antara lain melalui privatisasi.

Adanya pergeseran paradigma dalam mengelola pemerintahan ini memaksa adanya perubahan dalam style birokrasi, yang dulu lebih vertikal-hierarkis, kini dikembangkan menjadi struktur organisasi mendatar dan fungsional, dengan mengembangkan jejaring kerja (networking ). Bahkan gaya kerja organisasi yang cenderung kaku sekarang kelihatan lebih fleksibel akomodatif.

Birokrasi pemerintahan tidak lagi rakus menangani berbagai urusan pemerintahan. Ia juga menyadari bahwa tidak mungkin mengatasi berbagai persoalan bangsa hanya dikelola oleh birokrasi pemerintah. Ia harus memberdayakan rakyatnya dan mendorong sektor usaha untuk berperan maksimal.

Sekarang birokrasi pemerintah terasa ringan karena masyarakat telah pandai mengelola urusannya dan memenuhi kebutuhannya. Dunia usaha pun bias bermitra dengan pemerintah, bahkan mampu menyediakan barang dan jasa serta barang-barang publik tanpa dukungan pemerintah sama sekali. Namun untuk memproteksi konsumen, masih tetap diperlukan regulasi pemerintah.

Dengan demikian, birokrasi di masa depan tidak perlu bekerja keras mengelola semua urusan pemerintahan guna memenuhi dan menyediakan segala apa yang menjadi kebutuhan warganya, apalagi di tengah keterbatasan sumber daya dan sumber dana, birokrasi pemerintah tidak selalu memonopoli berbagai urusan pemerintahan.

Kondisi demikian memaksa birokrasi pemerintah mereposisi peran sentralnya, yang di masa sekarang harus ada role sharing dan berbagi beban serta tanggung jawab dengan warga dan dunia usaha. Ia cukup bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Bukankah mengayuh (rowing ) lebih capai dan mengeluarkan energi yang lebih banyak daripada menyetir ( steering ) ?

Jika demikian halnya, birokrasi masa depan tidak lagi semata-mata hanya melaksanakan tugas-tugas pemenuhan akan barang-barang public ( pubic goods ), tetapi melakukan dorongan dan motivasi bagi bertumbuhnya dan berperannya masyarakat dan dunia usaha.

Bila pendekatan tersebut digunakan dalam praktek pengelolaan birokrasi pemerintah, maka efesiensi pembiayaan akan tercapai dan produktivitas birokrasi pemerintahan akan semakin terukur. Mengacu kepada tantangan masa depan yang dihadapi birokrasi pemerintah, kita harus segera merekonstruksi struktur dan kultur birokrasi dengan melakukan berbagai penataan terhadap kelembagaan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, bahkan bila perlu sampai ke kelurahan dan desa.

Salah satu ciri birokrasi modern antara lain terlihat dari struktur organisasinya yang ramping, efektif dan efisien, serta mampu membedakan tugas mana yang masih perlu ditangani birokrasi dan mana yang sudah dapat diserahkan kepada masyarakat. Dengan demikian, segala urusan pemerintahan itu tidak seharusnya dimonopoli oleh birokrasi pemerintah.

Kondisi inilah yang oleh Barzelay (1992) disebut sebagai post-bureaucratic paradigm , yang secara operasional lebih menitikberatkan kepada misi, pelayanan, dan hasil akhir ( outcome ), menekankan pemberian nilai kepada masyarakat dan membangun akuntabilitas serta memperkuat hubungan kerja. Dengan demikian, birokrasi masa depan itu tidak hanya menekankan kepentingan publik, efesiensi, kontrol, fungsi, otoritas, serta struktur, melainkan lebih menekankan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, dan mengukur serta menganalisis hasil, juga memperkaya umpan balik.

Birokrasi pemerintah di masa depan harus pula diimbangi dengan penyempurnaan system dan prosedur kerja. Hal itu dicirikan sebagai sebuah organisasi yang modern yang cepat, tepat, akurat dengan mempertahankan kualitas, biaya, dan ketepatan waktu dalam menghasilkan produk-produk pelayanannya.

Jadi, birokrasi yang modern, meminjam istilah Kristiadi (1994), tidak lagi berpikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam APBN / APBD, tapi bagaimana membelanjakan anggaran yang terbatas dengan seefisien mungkin dan manfaat apa yang akan diperoleh dari hasil pembelanjaan tersebut ( cost and benefit ).

Untuk menjawab itu semua, tampaknya selain harus ada reorientasi struktur pemerintahan dari vertikal ke horizontal atau mengubah struktur “tall “ menjadi struktur “ flat “, juga lebih banyak melimpahkan wewenang kepada level pemerintahan yang lebih dekat jangkauannya dengan rakyat yang dalam konsep otonomi sekarang disebut terdesentralisasikan. Ini yang akan membuat pemerintah lebih aspiratif dan akomodatif serta keputusannya bisa dilaksanakan secara lebih cepat dan lebih tepat, dan juga akan membuat pemerintah lebih dekat dengan rakyat. (Dr. Edi Siswadi MSi. )

2 komentar:

Mas endung mengatakan...

Materi Tambahan Kuliah Teori Perencanaan PEmbangunan,,,,

All about Paradigm mengatakan...

Mas..andai saja para birokrat membaca tulisan ini, mungkin akan berubah. Perubahan paradigma tentang birokrat, yang nota bene cenderung mental priyayi yg inginnya dilayani dan tidak mengindahkan faktor ekonomis, akhirnya pola efisiensi tidak menyatu dalam setiap kerjanya.

http://www.allaboutparadigm.blogspot.com
http://atyaga1177.wordpress.com